Tentu kita semua mengetahui desas desus perihal Carbon Trade. Ya, secara awam dapat dijelaskan seperti ini "Negara maju membayar keberadaan hutan kita untuk menyerap emisi karbon yang dihasilkan industri dunia". Secara awam pula rakyat kita senang dan gembira menanggapi hal ini. Ada yang gembira karena Indonesia mendapat pemasukan uang, ada pula yang gembira karena pembukaan lahan hutan semakin dibatasi. Namun, sadarkah kita dibalik itu semua, secara tidak langsung kita sedang dibodohi? Kita diharapkan bak seorang pahlawan yang jika tanpa keberadaan kita semua orang akan mati. Padahal dalam kenyataan toh tidak seperti itu.
Kita semua tentu mengenal Amerika Serikat, negara adidaya yang dihormati karena dominasinya. Negara tersebut adalah salah satu negara yang paling aktif membicarakan Carbon Trade kepada Indonesia. Pertanyaannya, Mengapa harus Indonesia? Padahal AS juga memiliki hutan yang memadai, serta memiliki institusi pendidikan di bidang kehutanan yang jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Alasan yang bisa diterima adalah bahwa hutan mereka "tidak cukup" menutupi emisi karbon. Selain itu, ternyata ada alasan lain yang sangat egois, yaitu bahwa mereka tidak mau mengurangi kegiatan industri mereka. Sangat ironis memang, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tingkat emisi dan pencemaran di dunia tidak akan habis dan akan terus bertambah.
Belum lagi masalah internal di Indonesia terkait kepengurusan hutan. Tiap tahun lahan hutan semakin berkurang. Pak Presiden dengan santai mengkampanyekan kegiatan "1 Man 1 Tree". Memangnya menanam pohon segampang itu apa? Apakah semua jenis pohon bisa dibiarkan hidup dimana saja tanpa perlakuan khusus? Jika kita dikasih bibit saja merawatnya sulit, apalagi mesti menanam dari awal. Belum lagi proses pertumbuhannya yang memakan waktu minimal 6-7 tahun* (*untuk pohon fast growing). Dari hal tersebut terlihat pemerintah masih asal-asalan membenahi masalah internal negaranya sendiri.
Teman-teman yang pernah berkunjung ke luar negeri setidaknya Malaysia atau Singapura pasti akan sangat malu melihat kondisi di negara kita. Di Jakarta misalnya, sebagian besar tumbuhannya kering, dan mengalami berbagai gejala defisiensi* (*bisa dilhat dari karakter daun). Nyaris tidak ada udara segar di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar